Minggu, 01 Januari 2012

Eksotika Blitar (II) : Berburu Lobster di Pantai Tambakrejo


Bahkan mbak Sunah, temanku yang asli Blitar terlongong waktu kutanya soal pantai Serang, Jolotundo dan Tambakrejo. Ono opone Tambakrejo ? tanyanya. Wah, itu yang mau kucari, ada apa di pantai Selatan ini ? Pantai merupakan pilihan kami semua, karena anak-anak sangat terkesan dengan Kuta, dimana mereka bisa bermain pasir dan air sepuas-puasnya. Dus, aku harus cari pantai yang berpasir putih dan bersih. Beberapa bulan lalu, kami tertarik mendatangi Delegan, pantai di perbatasan Lamongan dan Gresik. Namun, kebisingan dan sampah, tak ingin membuatku kembali.
Hunting pantai inilah salah satu yang menggerakkan kami untuk datang di Tambakrejo. Pantai ini terletak di desa Tambakrejo kecamatan Wonotirto, kurang lebih 3o km ke arah selatan dari kota Blitar. Perjalanan naik turun melintasi perbukitan sendiri sudah merupakan petualangan yang mengasyikkan. Perut dikocok seperti naik spinning coaster di Jatim Park Malang. Lebay, kata anak-anak..hehe..
Pantai Tambakrejo memanjang  menyerupai teluk kurang lebih 10 km. Pasirnya sangat bersih, meski tidak terlalu putih seperti di Kuta, Sanur atau Bale Kambang. Kami sengaja datang pagi benar agar bisa menikmati suasana sepi pantai yang alami. Tidak menunggu lama, anak-anak sudah berkecipak di lautnya yang biru. Ombaknya lumayan besar, khas pantai Selatan. Agak berbahaya sehingga di sepanjang pantai ada tulisan, dilarang keras mandi di laut. (Yang gak boleh kan mandi, kalau main air gak papa…hihi..main aja sana nak…bunda temani..)
Kapal nelayan banyak bertebaran di sepanjang pantai terdiri dari jenis speed, kebanyakan berasal dari bantuan pemerintah dan kapal Konthing, sampan kecil yang muat 2 orang. Pengalaman yang paling menakjubkan adalah saat ada kapal yang turun dan membawa tangkapan….lobster ! Tidak banyak, hanya 4 biji lobster yang bergegas dibawa ke pengepul. Para nelayan biasa menyelam di sela karang untuk mencari komoditi elit ini. Harga lobster perkilonya sekitar Rp.200.000. Di Bali konon, 1 porsi lobster dihargai Rp.800.000. Kalau aku tak tega memakannya bukan karena lobster sudah seperti kawan sendiri, tapi membayangkan uang segitu bisa buat beli nasi bungkus pengungsi Syiah dari Sampang bakal membuatku sulit menelan. Hehe..kecuali kalau ada gratisan..
Ingin merasakan sensasi naik speed? Sebuah kapal nelayan menawarkan kami mengitari bukit Kucung selama kurang lebih 30 menit dengan tarif Rp. 5000 per orang. Jangan lewatkan kesempatan ke pasar ikan. Hasil tangkapan nelayan yang melaut sejak habis subuh sampai jam 10 pagi sungguh-sungguh membuatku tak mampu melewatkan kesempatan belanja. Harganya cukup murah. Ikan salem, tongkol, potongan kakap, rata-rata Rp 17.000/kilo, rajungan Rp.20.000/kilo, cumi besar Rp. 35.000. Kakap merah besar dihargai sekitar Rp 50.000. Atau kalau mau praktis, beli saja ikan asap dan sambalnya. Sepotong irisan  ikan tuna asap segar hanya Rp. 2000 saja. Nasi putih bisa dibeli di warung sekitar, perbungkusnya Rp 3000, lengkapi dengan sambal kecap yang bisa dibeli di penjual ikan atau warung, seharga Rp.2000-Rp.5000. Setelah itu carilah posisi. Makan di tepi pantai dengan menu hasil lautnya yang segar serasa menjadikanku pemilik negeri ini. Mak nyusss…Tak ada kapal asing yang menyisakan kepala ikan dan ikan busuk tak berkualitas untuk dikonsumsi pemilik kekayaan laut. Bahkan, menikmati pantai saja bisa membangkitkan rasa nasionalisme ! jiah !
Di Tambakrejo, kepuasanku one stop moving. Dari main, mandi, sholat, naik kapal, belanja di pasar ikan, sampai menikmati ikan segar, lengkap di sana ! I’ll be back..

Eksotika Blitar (I) : Dari Makam Bung Karno hingga kehadiran suku Aztec di Candi Penataran


Sudah lama aku menginginkan sebuah liburan yang tidak biasa. Mendatangi tempat yang tak standar.Di sebuah tempat yang kira-kira bisa berbunyi “ selamat datang di alam perawan..”.
Masa kecil dulu, kami sekeluarga sering bepergian ke wisata alam. Kupikir memang tak ada tempat selain alam untuk sebuah kata yang bernama ‘rekreasi’. Sehingga dalam pikiranku menancap kuat arti  ‘menghabiskan waktu’ untuk liburan. Yaitu tempat yang dekat alam, tidak terlalu banyak pengunjung dan bisa dinikmati secara fisik.  Dia bisa gunung, laut, sungai, danau dst.
Saat ini tempat rekreasi untuk liburan bergeser dalam pencitraan. Tempat yang banyak permainan anak-anak dengan berbagai variannya menjadi tempat yang alternatif dan selalu full pengunjung. Di Jawa Timur tempat seperti itu boleh jadi diwakili oleh WBL, Jatim Park, Taman Safari dan beberapa wisata air *sebut kolam renang*. Dengan tiket berkelanjutan pengunjung bisa menikmati semua wahana. Kisaran harga tiket antara 40-70 ribu tergantung momen harinya. Kalau musim libur, bisa dipastikan harga tiket ikut naik.
Tapi bosan juga mendatangi  tempat itu-itu aja. Hmm..tiba-tiba pengen mengunjungi Blitar. Tempat ini menyimpan banyak situs sejarah yang menjadi minatku. Ada makam Bung Karno, sang Proklamator. Pasti ada tempat lain selain makam. Dan ternyata mbah Google yang paling tahu.Dari hasil browsing ketemulah Candi penataran, Pantai Serang, Pantai Jolotundo dan pantai Tambakrejo. Semua masih asing, dan agak spekulatif karena minim info.Tapi nggak ada salahnya dicoba.
Makam pak Karno tak terlalu ramai hari itu. Tak seperti makam auliya yang selama ini sering kami kunjungi. Sayangnya, usai kami menziarahi makam, kami tak bisa kembali ke pintu masuk untuk melihat perpustakaan. Penjaga dengan galak menyuruh kami melalui rute berikutnya menuju pintu keluar. Sepanjang jalan kami harus melewati pasar souvenir yang panjang dan lumayan jauh dari parkir. Karena anak-anak sudah capek, batal deh acara ke museum.
Kami istirahat sebentar di hotel. Tak ada masalah dengan penginapan. Harga hotel sangat terjangkau, antara Rp.75.000 (ekonomi/fan)  sampai dengan Rp 190.000 (eksekutif ber AC). Kebetulan hotel tempat kami menginap dekat dengan Pemeran Industri yang malam nanti bakalan ramai pengunjung mau menonton OM Sagita. Setelah sejenak istirahat, kami menuju Candi Penataran yang berjarak kurang lebih 10 km dari makam bung Karno dan tempat kami menginap.
Sayangnya hujan deras menunda keberangkatan kami, sehingga hari sudah agak sore waktu kami tiba di pelataran Candi Penataran. Masih ada sisa 30 menit sebelum area candi ditutup untuk umum pada jam 5 sore. Wah..kami bergegas melihat dan mengitari candi yang dibangun sejak masa kerajaan Kediri sampai dengan masa Majapahit ini.  Dengan demikian candi ini sudah melewati 3 zaman Kerajaan besar yaitu Kediri, Singasari dan Majapahit.
Candi yang terletak di desa Penataran kec. Nglegok Kab. Blitar ini dibangun pada tahun 1194 oleh Raja Çrnga (Syrenggra) yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarweqwara Triwikramawataranindita Çrengalancana Digwijayottungadewa yang memerintah kerajaan Kediri antara tahun 1190 – 1200, sebagai candi gunung untuk tempat upacara pemujaan agar dapat menetralisasi atau menghindar dari mara bahaya yang disebabkan oleh gunung Kelud yang sering meletus.
Relief candi ini menyimpan kisah cinta saduran dari epos Ramayana, Rama dan Sinta dan konon relief yang memuat romantika cinta Krisnayana dengan tokoh Krisna dan Rukmini, yang dipahatkan pada dinding candi Penataran, dikatakan mirip dengan kisah Ken Arok dan Ken Dedes, sang ardhanareswari.
Yang menarik, beberapa relief candi Penataran memuat visual yang mirip dengan penampilan suku Aztec dan Maya dari Amerika. Termasuk keberadaan relief kaktus yang biasa ditemukan di Mexico, asal suku Aztec. Adakah keduanya berhubungan ? Wallahu a’lam.
Kunjungan yang sangat singkat. Tak cukup waktu yang kami miliki untuk mengitari kompleks candi terluas di Jatim ini. Walau begitu, keindahan dan keanggunan panorama candi Penataran senja itu  terasa sungguh mempesona. Tak heran pada setiap purnama, saat Dewan Kesenian Kabupaten Blitar (DKKBI) menggelar pentas budaya  Purnama Seruling Penataran (PSP), pelataran candi penuh dihadiri berbagai elemen kesenian seluruh Indonesia  bahkan manca  negara. Jejak candi Penataran nampak begitu ritmis dan dejavu.