Senin, 26 September 2011

SEKELUMIT TANYA UNTUK GANDHI

“…Setelah tertahan selama 23 hari di pelabuhan Durban Afrika Selatan, akhirnya Bapu diizinkan mendarat. Kasturba yang sedang mengandung  bersama tiga orang anak laki-laki mengendarai kereta kuda menuju rumah para orang India. Sementara itu Bapu dan seorang pengacara Inggris berjalan di belakangnya.

Sesampai Bapu di darat, beberapa pemuda kulit putih meneriakkan namanya dan mengancam orang-orang yang mengelilinginya dan memisahkannya dari sang pengacara Inggris. Mereka melemparkan batu, batu-bata dan telur busuk ke arah Bapu. Seolah tak puas, mereka merobek turban Bapu lalu menendang dan memukuli Bapu. Tubuh Bapu yang kecil dan beratnya yang tidak pernah lebih dari 45 kilogram itu menjaga dirinya agar tidak terjatuh. Seorang istri inspektur polisi yang melihat kejadian tersebut  datang dan berdiri di samping Bapu dan melindunginya dengan payung…..” (h.48)


Sampai di sini, saya menutup buku dan membiarkannya beberapa hari berlalu sebelum saya kuat membacanya kembali. Penerimaan Gandhi atas penderitaan sungguh keterlaluan, sehingga saya tidak sanggup membayangkan kemuliaan hatinya.

Gandhi Yang Pemalu

Bapu adalah sebutan lain dari Mohandas Karamchand Gandhi yang berarti ‘bapak’. Orang lebih mengenalnya sebagai Mahatma Gandhi, sebutan yang sesungguhnya tidak dia sukai.

Masa pertumbuhan Gandhi tidak begitu istimewa. Sebagaimana kebanyakan pemuda yang melalui masa pertumbuhan di India, Gandhi hidup dalam keluarga besar, dimana kakaknya menjadi penyangga ekonomi keluarga. Yang membedakan hanyalah, Gandhi sangat pemalu dan pendiam, sehingga dia memilih berlari pulang secepatnya begitu bel pulang berbunyi, ketimbang harus menghadapi kawan-kawannya untuk sekedar berinteraksi. Tentu saja dibanding kebesaran kiprah dan namanya, hal ini bagai berbanding terbalik.

Dunia mengenalnya sebagai manusia bijak dari timur oleh karena perjuangan yang dilakukannya. Siapa yang tidak mengenal orang yang mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk mengkampanyekan semangat mandiri, bebas dari belenggu penindasan dengan cara nir kekerasan ini?
Satu-satunya kekerasan yang dilakukan Gandhi adalah kekerasan terhadap tubuhnya sendiri manakala dia bersiteguh untuk puasa tanpa batas, demi mencari perhatian atas fakta kekerasan yang menimpa orang lain. Termasuk yang berbeda keyakinan dengannya.
Tapi siapa mengira bahwa pelajaran anti kekerasan pertama dia dapatkan dari seorang Kasturba, istri yang diberikan orang tuanya sejak Gandhi berusia 13 tahun?

Santo Yang Tak Pernah Salah ?

Jauh di lubuk hati terdalam ada secuil pertanyaan genit. Dimana sebenarnya orang suci ini meletakkan sisi manusiawinya? Dimana letak keseimbangan hidupnya?
Sebagai seorang pejuang kemanusiaan, Gandhi seolah terbit laksana Santo yang tak punya kesalahan. Konsep dan ide Gandhi adalah juga keringat dan darahnya. Jelas dia bukan platonis. Baginya pekerjaan manual setara dengan intelektual. Membuat garam dan menjahit sendiri bajunya sama nilainya dengan menulis dan menerbitkan surat kabar.

Ia melakukan banyak tindakan kemanusiaan dengan tangannya sendiri. Merawat orang miskin yang sakit, mengganti baju para penderita kusta, merawat orang sekarat, membantu kelahiran dan ikut merawat anaknya, sekaligus menggugat pejabat di Johannesburg yang mencoba mengusir pemukim India tanpa kompensasi sebanyak 70
kali. Semua gugatan dia menangkan kecuali satu kasus. Semua dilakukan Bapu sejak usia 30 an tahun.

Lantas dimana Gandhi menempatkan sisi lain kemanusiaannya?

Sebuah artikel di Tempointeraktif.com tanggal 28 Maret 2011 agaknya menjawab pertanyaan saya tentang sisi lain seorang Gandhi. Artikel ini mengurai kehidupan privat dan orientasi seksual Gandhi.

Buat saya sendiri, fakta minor ini cukup melegakan. Bukan semata-mata mencari kekurangan seseorang, dan mengosongkan semua perjuangannya. Tetapi netralitas dalam menempatkan figur suci buat saya harus dilakukan justru untuk menguatkan nilai-nilai tersebut. Tidak perlu kecewa manakala mengetahui seseorang yang kita puja dan kita sucikan dalam mindset kita ternyata hanya manusia bisa. Tidak melulu berarti dia mengkhianati  arti perjuangannya. Tetapi berfikir bahwa orang tersebut tak memiliki dosa merupakan kenaifan persepsi.

Gandhi berbicara tentang 7 dosa politik. Tak berarti bahwa dia tidak jujur. Sisi hidup lain Gandhi tidak berlawanan dengan nilai-nilai perjuangannya, karena dia tidak merugikan siapapun dalam hal ini. Kehidupan pribadi Gandhi merupakan privacy yang mungkin dibutuhkan sebagai suplemen hidup. Energi spiritual Gandhi bisa jadi tidak hanya didapatkan di kuil-kuil tapi juga dalam kecintaannya yang mendalam terhadap manusia privatnya.

Ini mungkin sangat parsial, namun kita membutuhkan sebuah kebijakan berfikir untuk mengantisipasi segala bentuk absurditas nilai. Ketika kita meyakini ada nilai-nilai yang dibawa oleh figur yang kita akui otoritasnya sebagai tokoh moral, maka kita mengurungnya dalam satu paket kesucian. Nilai ideal  harus keluar dari jubah santo. Namun begitu kita melihat goresan manusiawi tersembul dari jubahnya, maka segala nilai moral seolah runtuh dari idealitas kita. Dus, pada saat inilah dibutuhkan cara berfikir yang proposional, dimana keyakinan akan nilai kemanusiaan tetap melekat tanpa harus terpengaruh pada bentuk wadagnya, sehingga kita tidak sampai harus mengorbankan nilai-nilai kebenaran yang universal.  Wallahu a’lam

6 komentar:

  1. Ya menarik...
    Yang lebih menarik, mungkin, yang harus dituliskan adalah persoalan-persoalan riil yang sampean hadapi setiap hari yang mungkin sesuatu yang biasa-biasa bagi sampeyan, tapi bg orang yang tdk pernah tahu akan menjadi luar biasa, dan tulisan itu, salah satunya bisa keluar dari jawaban pertanyaan berikut:

    1. Bagaimana sih sesungguhnya relasi yang terjadi di lingkungan pondok pesantren baik antara kiyai dan santri, antara laki-laki dan perempuan serta antara kiyai dan kiyai (nyai dan nyai)
    2. Bagaimana jalinan hubungan antara pesantren-pesantren yang saat ini ada, terutama antara pesantren-pesantren lama
    3. Bagaimana posisi masing-masing pesantren-pesantren tersebut, baik diantara mereka atau mereka dengan lembaga diluarnya (negara, NU)

    Pertnayaan2 ini kalau dipandang saklek, akan seperti rumusan masalah skripsi/tesis/disertasi, tetapi jangan jgn hanya dipandang spt itu, karena bisa dibuat tulisan cerita dan ringan2 saja...

    BalasHapus
  2. oh ya... banyak loh yg pingin tahu ttg itu...

    BalasHapus
  3. kucoba cak...ini juga sebagai refleksi sharingku beberapa waktu lalu dengan seseorang. barangkali petanya hampir sama, hanya perspektifnya yang berbeda. kalau hanya sekedar tahu, kupikir mereka tahu. yang mereka butuhkan bagaimana pesantren menilai dirinya sendiri secara jujur dan moderat. bukankah begitu?

    BalasHapus
  4. Tapi tidak banyak yang tahu tentang bagaimana pesantren2 mengelola hubungan sehingga mereka bisa sangat kuat jalinannya. Contohnya, dulu kiyai mencari menantu anak temannya atau kiyai lain yang sama-sama seperjuangan dst..dst...

    BalasHapus
  5. ini seperti keingintahuan pribadi ya? hehe..karena terbiasa, kurasa agak sulit mencari angle seperti yang diinginkan orang. mengalir sajalah nanti. kalau dipaksa jadinya malah gak asyik. menulis itu kan harus dari rasa ingin dulu toh, baru cari bahan...

    BalasHapus
  6. He..he..he..
    Saya pernah ditanya orang. Krn sy bukan kiyai, maka nggak bisa jawab yg sesungguhnya terjadi

    BalasHapus