Kamis, 24 Maret 2011

APORISME IBNU ATHA’ILLAH


Ibnu ‘Atha’illah dikenal dalam jagad pesantren sebagai pengarang masterpiece Al Hikam, sebuah kitab yang penuh rima dan kaya makna. Meskipun di pesantren kitab ini tergolong kitab berat dan hanya diajarkan di kalangan santri senior, namun melalui beberapa terjemahannya, orang awam pun bisa mengintip kedalaman makna Al Hikam. Salah satunya adalah buku Al Hikam, Rampai Hikmah Ibnu Athaillah yang disertai ulasan Syekh Fadhlalla Haeri, cetakan Serambi.

Pada covernya, KH Musthofa Bisri berkata “ Aporisme Al Hikam bahasanya luar biasa indah—kata dan makna saling mendukung, melahirkan ungkapan-ungkapan yang menggetarkan”.
Perhatikan salah satunya,

Tuhanku, kalaulah muncul kebaikan dari diriku, itu karena anugerahMu, dan adalah hakmu untuk memberkatiku. Dan kalau muncul keburukan dari diriku, itu karena keadilan-Mu, dan adalah hak-Mu untuk menuntutku,”

Sebuah kepasrahan total, namun sebenarnya di dalamnya muncul sebuah karakteristik yang sangat dinamis.
Dinamika lain muncul dalam aporismenya seperti berikut ini :

“ Tuhanku, bagaimana aku akan bertekad sementara Engkau-lah yang Menentukan? Tapi bagaimana aku tak kan bertekad sementara Engkau-lah Yang Memberi perintah?”

Bolehlah orang menyebutnya sebagai Jabariah, tapi bagaimana mungkin orang bisa mengelola jiwanya tanpa ada proses dinamik dalam spiritualitasnya?

Ibnu Atha’illah al Sakandari lahir pada pertengahan abad ke-7/13M, dan tumbuh besar di Alexandria semasa era Mamluk. Riwayat hidupnya tak banyak diketahui. Hanya saja konon semula Ibnu Atha’illah tidak terlalu tertarik dengan dunia tasawuf meskipun ayahnya adalah guru tarekat Syadziliyyah. Beliau lebih dikenal sebagai faqih besar dalam madzhab Maliki.

Namun demikian beliau punya guru sufi yakni Abu al-Abbas al Mursi (w.686/1288) yang digantikannya setelah al Mursi wafat. Ia pun menjadi syekh sufi menempati urutan ke-21 dalam silsilah tarekat Syadziliyyah, sebuah tarekat yang semula tumbuh di Maroko dan menyebar di sepanjang Afrika Utara.                                                                                                                                                       
Pada abad-abad ini islam mulai menyebar dan memuncak perkembangannya dalam wujud berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, terutama di kepulauan Sumatera. Seperti kerajaan Peurlak, Samudera Pasai dan Aceh. Hanya saja sumber sejarah mengenai kerajaan-kerajaan ini sangat minim. Namun demikian diketahui bahwa corak keislaman di beberapa kerajaan kental dengan karya-karya sufistik. Seperti di kerajaan Aceh yang melahirkan sufi penyair Hamzah Fansuri yang sarat dengan rima mistik.

Kelapangan hati Ibnu Atha’illah yang tergambar dalam karyanya sangat menginspirasi beberapa penulis lain untuk menyusun syarah Al Hikam seperti Ibnu ‘Abbad (1332-1390) dan Ibnu Ajibah (1747-1809), juga Fadhlullah Haeri. Namun syekh kelahiran Karbala ini mengulas dengan lebih kontemporer tidak dalam bentuk syarah apada umumnya namun lebih menuturkan hikmah-hikmah sandingan yang tak kalah dalamnya. Karena itu buku ini menjadi istimewa, setidak-tidaknya seperti yang dikatakan penerbit.

Berikut ini kutipan Al Hikam yang mengulas tentang Permintaan Manusia dan Pemberian Allah :

ARTI PERMINTAAN DALAM JAGAD PEMBERIAN

Agar pedihnya ujian terasa ringan, hendaklah engkau tahu bahwa Allah lah yang mengujimu. Yang menimpakan takdirNya kepadamu adalah juga Yang biasa Memberimu sebagus-bagus pilihan.

Siapa menduga bahwa kelembutan Allah  terlepas dari keputusan TegasNya, maka itu karena pandangan yang dangkal

Mahasuci Allah yang telah menutupi rahasia keistimewaan orang pilihan dengan  tampakya sifat-sifat kemanusiaan, dan yang telah menampakkan  kebesaran sifat-sifat Ketuhanan dengan mewujudkan penghambaan

Tidak setiap orang yang memperolah keistimewaaan sepenuh nya terbebas (dari kausalitas)

Wirid adalah apa yang Allah minta darimu, sedangkan balasan adalah apa yang engkau minta dariNya. Lantas dimana letak kesebandingan antara apa yang Allah minta darimu dan apa yang engkau minta dariNya?

Datangnya pertolongan Allah adalah sesuai dengan persiapan, sedangkan turunnya cahaya Allah adalah sesuai dengan kejernihan relung batin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar