Rabu, 09 Maret 2011

NU dan RADIKALISME

Jika ingatan kita tentang radikalisme hanya sebuah bayangan kekerasan yang akhir-akhir ini mendominasi wacana pemahaman tentang Islam, maka sepertinya kita harus mengkaji ulang mengenai arti dan makna radikalisme. Selama ini segala kejadian terkait terorisme seperti bom bunuh diri, peledakan tempat-tempat hiburan maupun pusat bisnis pemerintahan selalu menyisakan kesimpulan tentang betapa tidak beradabnya orang-orang yang mengaku beragama Islam dan menuhankan kekerasan sebagai cara mencapai tujuan. Ekspose media yang sering mempertontonkan massa beratribut Islam disertai acungan senjata tajam turut membentuk mindstream sebagian masyarakat tentang Islam dan kekerasan.

Gerakan agama dengan menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuan yang tidak pernah dikomunikasikan itu, lantas diidentikkan dengan radikalisme Islam. Sehingga hal-hal yang berbau Islam menjadi phobia dan membuat orang jadi paranoid. Bagi kebanyakan umat Islam lain, hal ini menyisakan dilema. Satu sisi kita ingin menghapus kesan ekstrim dan penuh darah, di sisi lain, kita hanya bisa menduga-duga apa sesungguhnya keinginan para pelaku tindak kekerasan tersebut. Jika dilihat dari modusnya, pengusung kekerasan ini jelas tidak menyisakan ruang untuk mendialogkan gerakan mereka. Kalaupun ada, sepertinya susah untuk dipertemukan.

Lantas apa yang bisa dilakukan kalangan Islam lain yang ‘tidak radikal’agar tidak terjebak pada konotasi makna yang sangat bias dan merugikan kalangan Islam, terutama Islam yang memilih jalan damai sebagai ekspresi beragamanya?

Radikalisme : pengertian dan sejarah

Secara semantik, radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka). Dalam Ensiklopedi Indonesia (Ikhtiar Baru – Van Hoeve, cet. 1984) diterangkan bahwa “radikalisme” adalah semua aliran politik, dimana pengikutnya menghendaki konsekuensi yang ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan ideologi yang mereka anut. Dalam dua definisi ini “radikalisme” adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim. Adapun dalam Kamus Ilmiah Populer karya Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry (penerbit Arkola Surabaya, cet. th. 1994) diterangkan bahwa “radikalisme” ialah faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan. Dalam definisi terakhir ini “radikalisme” cenderung bermakna perubahan positif.

Radikalisme dalam pengertian gerakan ekstrim sesungguhnya sudah dimulai sejak pasca Nabi dan memuncak pada masa transisi kepemimpinan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ideologi yang menghalalkan darah sesama demi pemenuhan klaim kebenaran dikukuhkan semenjak Khawarij memisahkan diri dari kelompok Ali bin Abi Thalib dan berujung pada pembunuhan Ali oleh Ibnu Muljam, salah seorang Khawarij.
Pertikaian sesama muslim yang dihembuskan oleh Abdullah bin Saba mendapat persemaian yang subur ketika gerakan politik mulai tidak fokus arahnya. Antara memperjuangkan kemaslahatan umat dan tendensi atas kekuasaan itu sendiri, menjadi sebuah orientasi yang diberi jubah ideologi. Kedua-duanya melakukan gerakan yang menyertakan massa pada tiap-tiap kubunya. Sehingga perbedaan yang semula hanya masalah sederhana berubah menjadi sebuah manifestasi ideologis yang seolah-olah harus diperjuangkan sampai mati.

Dalam sejarah agama Islam fase ini menandai terbentuknya firqoh-firqoh. Arus politik yang terbelah menjadi 3 golongan, antara pendukung Ali, pembangkang dan kelompok netral mengalami metamorfosis dalam 3 kelompok aliran ideologi : Syi’ah, Khawarij dan Sunni. Sejak awal sudah terlihat kelompok yang memilih jalan ekstrim untuk mewujudkan tuntutannya. Dan kelompok Sunni berdiri di tengah-tengah sebagai penyeimbang 2 kelompok yang sama-sama berat sebelah.
Jika sekarang NU mencoba untuk mencari formulasi ideal bagi terciptanya tatanan masyarakat yang seimbang, maka itu sesungguhnya bukan hanya mewakili ajaran tapi juga sebagai penerus tradisi Sunni yang dimotori oleh para sahabat.

Radikalisme dalam pengertian perubahan drastis sendiri bukan monopoli gerakan Islam seperti dikonotasikan selama ini. Dalam historisitas Nasrani, radikalisme juga mewujud dalam sejarah terbentuknya Kristen Protestan yang mendekonstruksi ajaran Gereja Katolik pimpinan Paus. Protes Martin Luther atas dominasi Gereja pimpinan Paus yang dianggap terlalu menyusup dalam relung kehidupan umat Katolik berubah menjadi sebuah gerakan ideologis yang melahirkan Gereja Protestan. Untuk gerakannya ini Martin Luther menerima ganjaran dan dianggap musuh negara (Jerman) sehingga siapapun boleh membunuhnya. Namun lazimnya gerakan protes ini lebih populer sebagai gerakan reformasi gereja.

Sedangkan dalam tradisi Yahudi keyakinan akan ‘tanah yang dijanjikan’ membuat mereka meyakini bahwa ada tanah yang harus ‘diperjuangkan’. Keyakinan mereka ini membingkai gerakan zionisme. Yahudi Ortodoks (Orthodox Judaism) atau lebih senang disebut "Yahudi yang meyakini Taurat" (True Torah Judaism) misalnya, mereka yakin bahwa "Taurat bersumber dari Tuhan sehingga bersifat statis dan abadi untuk segala ruang dan waktu". Dan jika konsep Taurat bertentangan, maka yang harus diubah adalah situasi dan kondisi, bukan Tauratnya.
Zionisme sendiri sebagai ideologi resmi negara Israel yang didirikan Theodore Herzl pada tahun 1896 lebih tepat disebut sebagai gerakan politik daripada gerakan agama. Namun, pada akhirnya gerakan zionisme ini mengadopsi mitos-mitos teologis Yahudi sebagai asas perjuangannya sehingga ikut membangkitkan sentimen fundamentalisme dan radikalisme Yahudi

NU dan Radikalisme

Halnya NU sendiri, pernah dianggap memilih jalan radikal dalam mengekspresikan sikap politiknya. Setidaknya ini menurut Mitsuo Nakamura dalam editorial Tradisionalisme Radikal. Memang pemaknaannya sangat kontradiktif. Ada sebuah paradoks ketika mendampingkan kedua kata itu, apalagi kaitannya dengan NU. Bagaimana mungkin sebuah organisasi tradisional yang di tahun 60-an dianggap oportunis itu disebut radikal? Nakamura sendiri semula menyebutnya sebagai ilusi jika menggandengkan tradisionalisme agama dan radikalisme politik dalam diri NU. Apalagi jika diingat bahwa tahun 70-an pemerintahan Suharto sangat represif. Tidak ada celah dalam oposisi. Ahmad Shobari, seorang kolumnis dan pengamat NU yang pernah dekat dengan Gus Dur sendiri menyangsikan jika NU pernah radikal.

Secara politik, NU pernah menjadi pengritik paling keras pemerintahan Orde Baru di tahun-tahun 70-an. NU bukan hanya menahan serangan gencar pemerintah terhadap kekuatan sosial yang independen, tetapi bahkan terhadap strategi pembangunan rezim ini.
Contoh yang menonjol di era ini seperti yang dilakukah HA Chalid Mawardi, anggota Tanfidziyah NU sekaligus anggota sebuah partai Islam yang mengkritik pidato kepresidenan  mengenai pemerintahan dengan mengajukan tuntutan perubahan mendasar di bidang ekonomi dan pembangunan. Berikutnya nama-nama kritis yang mewakili generasi yang sama adalah Mahbub Djunaidi dan Abdurrahman Wahid.
Kritis di tengah pemerintahan yang represif tentu bukan hal biasa, jika diingat bahwa rezim ini sangat hegemonik dan alergi terhadap sikap kritis. Dalam kapasitas inilah agaknya Nakamura mengkategorikan NU sebagai gerakan tradisional yang radikal.  Radikalisme NU ini bukan secara politik NU menjadi radikal meskipun tradisional dalam sikap keagamaannya, tetapi bahwa ia menjadi radikal secara politik betul-betul karena tradisionalisme keagamaannya (Nakamuro,61)

Tradisionalisme keagamaan NU pula yang mampu menggerakkan massa NU dibawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari menentang kemungkaran berwajah agresi militer Belanda di Surabaya dalam sebuah komitmen bernama Resolusi Jihad tanggal 24 Oktober 1945. Komitmen ini kemudian melahirkan perang terbuka melawan kolonialisme Belanda dalam sebuah peristiwa spektakuler, 10 November di Surabaya.

Lalu apa bedanya NU dengan gerakan radikal yang sekarang ini menjadi sasaran tembak semua komunitas yang tidak setuju terhadap segala aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama?

Menurut Amir Santoso lewat tulisannya, Radikalisme dan Terorisme Di Indonesia., tidak seluruhnya radikalisme itu mengambil jalan terorisme meskipun umumnya terorisme itu sering kali bermula dengan radikalisme. Radikalisme di sini merujuk kepada ideologi, agama, etnik dan lain – lainnya. Kemudian, Amir membentangkan pula faktor kesadaran politik dalam kalangan negara Muslim. Umumnya negara muslim punya ruang demokrasi yang sempit sehingga menyebabkan mereka ini menyalurkan kekecewaan mereka melalui gerakan Islam radikal.

Oleh karena itu, pandangan positif dan negatifnya terhadap radikalisme tentunya terletak pada cara merealisasikan dan mengekspresikannya serta dasar pandang para pengamatnya. Biasanya kaum establishment amat alergi dengan isu radikalisme, berhubung kaum radikal amat gigih menuntut adanya perubahan sosial politik yang berarti pula akan sangat tajam mengoreksi kalangan statusquo. Keinginan akan adanya perubahan sosial – politik masih dianggap wajar dan positif bila disalurkan melalui jalur perubahan yang benar dan tidak mengandung resiko instabilitas politik dan keamanan. Dalam makna ini, radikalisme adalah wacana sosial – politik yang positif.

Adapun perubahan yang cepat dan menyeluruh (revolusi), dan selalu diikuti oleh kekacauan politik dan anarkhi, sehingga menghancurkan infra struktur sosial – politik bangsa dan negara yang mengalami revolusi tersebut. Dalam makna ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman yang negatif dan bahkan dapat pula dikatagorikan sebagai bahaya laten ekstrim kiri ataupun kanan.

Jika pemaknaan NU dan radikalisme masih dalam bingkai positif, lalu apa tawarannya atas maraknya radikalisme negative? Sebab bagaimanapun juga sebagai ormas beranggota terbanyak, sikap NU sangat representative dijadikan acuan. Apalagi ikon NU, yakni Gus Dur, adalah tokoh yang anti kekerasan sekaligus sangat kritis.

Sepertinya tawaran yang tepat bagi NU adalah kembali pada tradisi Tasamuh (toleran), Tawasuth (moderat), Tawazun (seimbang) dengan formula kontekstual. Mengingat Indonesia terdiri atas masyarakat yang plural secara etnik, agama, sosial, politik, ekonomi dll, menjaga sikap di tengah merupakan sebuah keniscayaan. NU harus tetap kritis (amar ma’ruf nahi munkar) terhadap kekuasaan dalam bentuk apapun yang cenderung hegemonik. Namun tetap bisa memberi rasa kenyamanan bagi minoritas yang sangat beragam (plural). Setidaknya dengan demikian NU bisa berkontribusi dalam mengeliminir arus perkembangan radikalisme negative.

Tambakberas, Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar